Ahlul Kitab Menurut Al Qur’an (4)

Ahlul Kitab Menurut Al Qur’an (4)

SUMBER: Media-Isnet

Ust. Dr. Quraish Shihab

Imam  Syafi’i,  memahami  istilah Ahl   Al-Kitab, sebagai orang-orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, tidak termasuk bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan  Nasrani. Alasan beliau antara lain bahwa Nabi Musa dan Isa, hanya diutus kepada mereka bukan  kepada  bangsa-bangsa lain.  (Juga  karena  adanya  redaksi min qablikum [sebelum kamu] pada ayat yang membolehkan perkawinan  itu).

Pendapat Imam Syafi’i ini berbeda dengan pendapat Imam Abu Hanifah dan mayoritas pakar-pakar hukum yang menyatakan bahwa siapa  pun yang  mempercayai salah seorang Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka  ia  termasuk  Ahl  Al-Kitab. Dengan demikian Ahl Al-Kitab, tidak terbatas pada kelompok penganut agama Yahudi atau Nasrani.

Dengan demikian,  bila  ada  satu kelompok yang hanya percaya kepada Shuhuf Ibrahim atau Zabur (yang diberikan kepada Nabi Daud a.s.)  saja,  maka  ia  pun termasuk  dalam  jangkauan pengertian Ahl Al-Kitab. Pendapat ketiga dianut oleh sebagian kecil  ulama-ulama  salaf, yang menyatakan  bahwa setiap umat yang memiliki kitab yang dapat diduga sebagai kitab suci (samawi), maka mereka juga dicakup oleh  pengertian  Ahl  Al-Kitab, seperti halnya orang-orang Majusi. Pendapat terakhir ini, menurut Al-Maududi  diperluas lagi  oleh  para  mujtahid  (pakar-pakar hukum) kontemporer, sehingga mencakup pula penganut agama Budha dan  Hindu,  dan dengan demikian wanita-wanita mereka pun boleh dikawini oleh pria Muslim, karena mereka juga telah diberikan  kitab  suci (samawi).

Demikian Al-Maududi menyimpulkan berbagai pendapat.

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menginformasikan bahwa Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalbi (W. 860 M) yang merupakan  salah seorang  pengikut  Imam  Syafi’i,  demikian  juga  Ahmad ibn Hanbal,  berpendapat  bahwa  kaum  Muslim  dapat   menikmati makanan   sembelihan  orang-orang  Majusi,  dan  dapat  pula mengawini wanita-wanita mereka. [6]

Uraian panjang lebar menyangkut  hal  ini  dikemukakan  oleh Muhammad   Rasyid   Ridha [7] yang  menurutnya  bermula  dan pertanyaan seseorang dari  Jawa  (Indonesia)  tentang  hukum mengawini    wanita-wanita    penyembah    berhala   semacam orang-orang Cina (dan memakan sembelihan mereka).

Ulama besar itu setelah merinci dan menilai  secara  panjang lebar  riwayat-  riwayat  yang dikemukakan oleh para sahabat Nabi dan tabiiin, kaidah-kaidah ushul dan kebahasaan,  serta menyimak  dan  menimbang  pendapat  para  ulama  sebelumnya, menyimpulkan fatwanya sebagaõ berikut:

“Kesimpulan fatwa ini adalah  bahwa  laki-laki  Muslim  yang diharamkan  oleh  Allah menikah dengan wanita-wanita musyrik dalam surat Al-Baqarah ayat 221 adalah wanita-wanita musyrik Arab.  Itulah  pilihan  yang  dikuatkan  oleh  Mahaguru para mufasir  Ibnu  Jarir  Ath-Thabari,  dan  bahwa   orang-orang Majusi,  Ash-Shabiin,  penyembah  berhala di India, Cina dan yang semacam mereka seperti orang-orang  Jepang  adalah  Ahl Al-Kitab yang (kitab mereka) mengandung ajaran tauhid sampai sekarang. [8]

Mufasir Al-Qasimi (w. 1914 M) ketika menafsirkan surat ke-95 (At-Tin)  menjelaskan  bahwa  sementara  pakar  pada masanya memahami kata At-Tin sebagai pohon (di mana)  pendiri  agama Budha  (memperoleh  wahyu-wahyu  Ilahi),  kemudian Al-Qasimi
menegaskan bahwa:

“Dan yang lebih kuat  menurut  pandangan  kami  bahkan  yang pasti,  bila  tafsir kami ini benar adalah bahwa dia (Budha) adalah seorang Nabi yang benar. [9]

Penulis cenderung  memahami  pengertian  Ahl  Al-Kitab  pada semua  penganut  agama Yahudi dan Nasrani, kapan, dimana pun
dan dari  keturuunan  siapa  pun  mereka.
Ini,  berdasarkan penggunaan  Al-Qur’an  terhadap  istilah tersebut yang hanya terbatas pada kedua golongan itu (Yahudi dan  Nasrani),  dan sebuah ayat dalam Al-Qur’an,

“(Kami turunkan Al-Qur’an ini) agar  kamu (tidak) mengatakan bahwa, ‘Kitab itu hanya diturunkan kepada dua golongan  saja sebelum  kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca.” (QS Al-An’am [6]: 156).

Namun  demikian,  kita   dapat   memahami   pandangan   yang menyatakan  bahwa  selain  orang  Yahudi dan Nasrani seperti penyembah berhala non-Arab dan  sebagainya,  walaupun  tidak termasuk   dalam   kategori   Ahl   Al-Kitab,   tetap  dapat diperlakukan sama dengan Ahl Al-Kitab.

Ini berdasarkan sebuah hadis  Nabi  yang  diriwayatkan  oleh Imam  Malik  dalam  kitabnya Al-Muwatththa, Bab Zakat, Hadis ke-42, “Perlakukanlah mereka sama dengan perlakuan  terhadap Ahl Al-Kitab.” Sementara ulama menyisipkan tambahan redaksi:
“tanpa memakan sembelihan mereka, dan tidak  juga  mengawini wanita  mereka.”  Kalau  tambahan ini tidak dibenarkan, maka semua izin yang berkaitan dengan Ahl Al-Kitab, berlaku  pula terhadap mereka.

Sebagian  lainnya  menilai  hadis  tersebut berstatus mursal yakni  sahabat  Nabi  yang  mendengar  atau  menerima  hadis tersebut  dari beliau tidak disebut dalam rentetan transmisi riwayatnya. Dan jika demikian itu halnya maka hadis tersebut dinilai  oleh  sementara pakar sebagai tidak dapat dijadikan argumentasi keagamaan.

Sahabat Nabi Abdullah  bin  Umar mempunyai  pendapat  lain. Beliau  secara tegas melarang perkawinan seorang pria Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, dengan dalih bahwa mereka adalah orang-orang musyrik. Ia mengatakan,

“Saya  tidak  mengetahui  kemusyrikan  yang lebih besar dari keyakinan seorang yang berkata  bahwa  Tuhannya  adalah  Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah.”

Pendapat ini tidak sejalan dengan pendapat sekaligus praktek sahabat-sahabat Nabi lainnya seperti Khalifah  Utsman,  Ibnu Abbas,  Thalhah,  Jabir,  dan  Khuzaifah, demikian pula para pakar-pakar hukum dengan berbagai alasan, antara lain:

1. Dalam sekian  banyak  ayat,  Al-Qur’an  menyebut  istilah al-musyrikun   berdampingan   dengan  Ahl  Al-Kitab,  dengan menggunakan kata penghubung wauw yang berarti “dan.”

“Orang-orang kafir dan Ahl Al-Kitab dan orang musyrik  tidak menginginkan   diturunkannya  suatu  kebaikan  kepadamu  dan
Tuhanmu.
(QS Al-Baqarah [2]: 105).

Kata  penghubung  semacam  ini   mengandung   makna   adanya perbedaan antara kedua hal yang dihubungkan itu. Ini berarti ada perbedaan antara musyrikun dan  Ahl  Al-Kitab.  Demikian juga terlihat pada QS Al-Bayyinah [98]: 1 dan 6.

Beberapa pakar tafsir, seperti Thabathaba’i dan Rasyid Ridha berpendapat bahwa yang dimaksud  dengan  al-musyrikun dalam
Al-Qur’an adalah penyembah berhala yang ketika itu bertempat tinggal di Makkah.

2.  Al-Qur’an  sendiri  telah  menguraikan   sekian   banyak keyakinan.  Ahl  Al-Kitab,  yang  pada  hakikatnya merupakan kemusyrikan seperti keyakinan  Trinitas,  atau  bahwa  Uzair demikian  juga  Isa adalah anak Allah, dan sebagainya. Namun demikian, seperti terlihat  dalam  butir  pertama  di  atas, Al-Qur’an membedakan mereka dan tetap menamai kedua kelompok tersebut sebagai Ahl Al-Kitab, bukan Musyrikun.

Al-Qur’an seperti dikemukakan pada awal uraian  ini,  sangat teliti  dalam redaksi-redaksinya, sehingga tidak ada peluang untuk  terjadinya  kerancuan   dalam   istilah-istilah   Ahl Al-Kitab, Al-Musyrikun, dan Al-Kuffar.

Atas  dasar  itu,  hampir  seluruh  sahabat  Nabi,  tabi’in, ulama-ulama  masa  awal  dan  kontemporer  tidak  sependapat dengan Abdullah Ibnu Umar.

Penulis    dapat    memahami    pendapat   tersebut   dengan memperhatikan latar belakang sahabat mulia itu, yang dikenal sangat  berhati-hati  serta  amat gandrung meniru Nabi dalam segala   sikap   dan    tindakannya.    Kehati-hatian    dan kegandrungannya  itulah  yang menjadikan beliau begitu ketat dengan pendapat di atas, keketatan yang tidak sejalan dengan kemudahan yang telah dianugerahkan Al-Qur’an.

Penulis juga dapat memahami seseorang yang memfatwakan tidak sah perkawinan pria Muslim dengan Ahl Al-Kitab, tetapi bukan
dengan  alasan yang dikemukakan Ibnu Umar. Alasan yang dapat dikemukakan antara lain kemaslahatan agama dan keharmonisan hubungan  rumah  tangga  yang  tidak  mudah  dapat  terjalin apabila  pasangan  suami  istri  tidak  sepaham  dalam  ide, pandangan  hidup atau agamanya. Mahmud Syaltut menulis dalam kumpulan   fatwanya   bahwa   tujuan   utama dibolehkannya perkawinan seorang Muslim dengan wanita Ahl Al-Kitab, adalah agar dengan perkawinan tersebut terjadi  semacam  penghubung cinta   dan  kasih  sayang.  Sehingga  terkikis  dari  benak istrinya rasa tidak simpati terhadap Islam dengan sikap baik sang  suami Muslim yang berbeda agama itu sehingga tercermin secara amaliah keindahan dan keutamaan agama Islam.

Adapun jika sang suami Muslim terbawa oleh sang istri,  atau anaknya  terbawa  kepadanya sehingga mengalihkan mereka dari
akidah  Islam,   maka   ini   bertentangan   dengan   tujuan dibolehkannya perkawinan, dan ketika itu perkawinan tersebut disepakati – untuk dibubarkan.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa:

1. Sikap Al-Qur’an terhadap Ahl Al-Kitab pada dasarnya  amat positif. Tidak ada halangan sedikit pun untuk menjalin kerja sama dan bantu-membantu dengan penganut Ahl  Al-Kitab serta penganut  agama lain, dalam bidang kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi.

2. Kecaman  yang  terdapat  dalam  Al-Qur’an,  lebih  banyak tertuju  kepada  orang  Yahudi,  dan  kecaman tersebut lebih banyak diakibatkan oleh sikap politik dan ekonomi mereka.

3. Betapapun terdapat perbedaan agama dan  keyakinan,  namun keadilan harus diperlakukan terhadap semua pihak.

4.   Pengertian   Ahl  Al-Kitab  dan  cakupan  makna,  serta implikasinya  dalam   kehidupan   sehari-hari   –   istimewa menyangkut  perkawinan  dan  memakan  binatang  halal  hasil sembelihan mereka – diperselisihkan oleh para ulama.  Dengan kata  lain,  tidak wajar seseorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam, bila ia memilih salah satu pendapat yang telah diuraikan   di   atas,   dan  dalam  saat  yang  sama  sikap kehati-hatian yang diambil oleh  sekian  banyak  umat  dapat dinilai sebagai sikap terpuji.

Demikian sekelumit uraian Al-Qur’an tentang Ahl Al-Kitab. []

Catatan kaki:

{6} Lihat Tafsir Ibnu Katsir ketika menafsirkan
QS Al-Maidah [5]: 5.
{7} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 185.
{8} Tafsir Al-Manar, jilid VI, hlm. 193.
{9} Mabahis At-Ta’wil, Jilid 17, hlm. 6201.

__________________________________________________________

WAWASAN AL-QURAN
Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat
Dr. M. Quraish Shihab, M.A.
Penerbit Mizan

************************************************************

ARTIKEL SEBELUMNYA

  1. Ahlul Kitab Menurut Al Qur’an (1)
  2. Ahlul Kitab Menurut Al Qur’an (2)
  3. Ahlul Kitab Menurut Al Qur’an (3)

2 Tanggapan

  1. Kalau saya mengikuti pendapat yg menyatakan semua ummat yg memiliki kitab mereka adalah ahli kitab, sebab org2 kristen sekarang juga lebih syirik (musyrik) dari pada org2 Hindu. Org2 Hindu Tuhannya bukan manusia, malah org2 kristen lebih keji menganggap manusia sbg Tuhan, rasanya kurang ‘adil kalau org2 kristen saja disebut ahli kitab sementara org2 hindu bukan. Menurut saya semua agama adalah samawi, kitab Veda (Weda) awalnya pun saya yakin berasal dari salah satu shuhuf, manusia tak mungkin mampu membuat nilai-nilai “ilahiyah” secara sistemik. Begitu pun kitab2 pegangan agama lain

  2. terimakasih sudah berbagi
    semoga sukses selalu..
    kunjungi saya di..
    BLOG SAYA
    lirik juga..
    REPOSITORY

Tinggalkan komentar