Untuk Haidar Bagir: Metodologi Islam Liberal

Metodologi Islam Liberal

SUMBER: http://groups.yahoo.com

Republika
Sabtu, 06 April 2002

Metodologi Islam Liberal
(Untuk Haidar Bagir dan Hamid Basyaib)

Oleh: Sukidi
Ketua BP Pusat Studi Agama dan Peradaban,
PP Muhammadiyah, Menteng

Naskah Haidar Bagir, Islib Butuh Metodologi, (Republika, 20/3) menantang secara intelektual terhadap komunitas Islam Liberal (Islib) untuk merumuskan metodologi dalam mengkaji Islam. Meskipun sarat kritik dan bahkan provokasi intelektual, analisis Haidar mewakili ”kritik yang beradab” terhadap geliat pembaharuan pemikiran keagamaan yang dimotori jama’ah Islib. Sementara tanggapan Hamid Basyaib, Islib Butuh Metodologi? Tanggapan untuk Haidar Bagir (Republika, 23/3), sengaja tak ingin menjawab kerangka metodologi Islib yang dipertanyakan Haidar. Untuk itulah, saya akan mengisi dan memasuki pada inti polemik ini dengan mengedepankan hermeneutika al-Qur’an sebagai kerangka metodologi Islib dalam mengkaji Islam.

Hermeneutika
Hermeneutika terkait dengan metode penafsiran dan interpretasi; terhadap teks, konteks, dan realitas. Hermeneuein (Yunani) dalam khazanah Islam biasa dipakai terma tafsir dan takwil sebagai metode untuk menyingkap makna teks, tersurat maupun tersirat, dalam belantara teks. Hermeneutika merupakan prinsip-prinsip metodologis dalam setiap usaha penafsiran dan interpretasi.

Karena itu, liberalisme penafsiran keagamaan yang dimotori jama’ah Islib sebenarnya bersandar pada metode hermeneutik ini. Jama’ah Islib mendekati Islam dengan sangat liberal, sebagaimana semangat liberalisme dalam al-Qur’an itu sendiri. Meskipun hampir tak pernah dieksplisitkan secara sistematis di kalangan jama’ah Islib, seperti disinyalir Haidar dan diakui Hamid, sebenarnya pilihan terhadap metode hermeneutik ini merupakan pilihan sadar yang secara instrinsik built-in di kalangan jama’ah Islib sebagai metode untuk membantu usaha penafsiran dan interpretasi. Ini karena, seperti ditegaskan Charles Kurzman dalam Liberal Islam: A Sourcebook, (1998), Islam Liberal adalah sekadar alat bantu analisis, bukan kategori yang mutlak.

Islib adalah alat bantu analisis jama’ah Islib dalam mengkaji Islam agar ajaran agama yang mulia ini bisa hidup dan berdialog dengan konteks dan realitas secara produktif dan progresif. Dalam metode hermeneutik, penafsir menjadi pemegang otoritas. Di sini, Islam menjadi perebutan wacana di hadapan manusia sebagai pemegang otoritas tafsir. Manusia, sebagai pemegang otoritas, bisa menghadirkan produk tafsirannya dengan beragam hasil: mulai dari bercorak radikal-fundamentalis sampai liberal-progresif. Al-Qur’an pun demikian: bisa ditampilkan sedemikian eksklusif sampai tampil liberal-progresif, tergantung siapa penafsirnya.

Nah, Islam, dalam jama’ah Islib, kira-kira ingin ditafsirkan dan dihadirkan secara liberal-progresif dengan metode hermeneutik ini. Jadi, jauh sama sekali dari apa yang secara prejudice dikhawatirkan Haidar sebagai bentuk ”penggagahan” terhadap Islam, apalagi sebagai bentuk ”konspirasi manipulatif untuk menggerus Islam justeru dengan meng-abuse sebutan Islam itu sendiri.”

Jauh dari niat penggagahan dan konspirasi terhadap Islam, liberalisme pemikiran yang built-in dalam jama’ah Islib kira-kira persis yang menjadi catatan harian Ahmad Wahib dalam mencari Islam: ”Aku belum tahu apakah Islam itu sebenarnya. Aku baru tahu Islam menurut Hamka; Islam Menurut Natsir; Islam Menurut Abduh;….Islam menurut yang lain-lain. Terus terang, Aku tidak puas. Yang kucari belum ketemu, belum terdapat, yakni Islam menurut Allah, Pembuatnya. Bagaimana? Langsung dari studi al-Qur’an dan Sunnah? Akan kucoba. Tapi, orang-orang lain pun beranggapan bahwa yang kudapat itu adalah Islam menurut aku sendiri. Tapi biar, yang penting adalah keyakinan dalam akal sehatku bahwa yang kupahami itu adalah Islam menurut Allah. Aku harus yakin itu!”

Catatan harian Wahib sangat jelas menyadarkan kita betapa Islam selalu ditafsirkan oleh manusia dengan beragam tafsiran. Islib dapat kita letakkan sebagai model Islam yang ditafsirkan menurut dan dari sudut pandang Muslim Liberal, dengan tentunya berbekal hermeneutika [al-Qur’an]. Inilah, saya kira, yang dimaksudkan penggagas awal nomenklatur Islam Liberal, Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981), dalam A Modern Approach to Islam (London: Asia Pub. House, 1963) terkait dengan upayanya ”to understand it (Islam) for today, not as it was in the past, nor as it may be in the future.” (h.110). Kata Fyzee, ”kita tidak perlu menghiraukan nomenklatur, tapi jika sebuah nama harus diberikan padanya, marilah kita sebut itu Islam Liberal.”

Jadi, kata liberal yang dilekatkan pada Islam jelas sama sekali bukanlah penggagahan, apalagi konspirasi manipulatif terhadap Islam yang dimotori Islib. Sejauh intensitas saya dengan kawan-kawan Islib, mereka adalah aktivis muda lintas agama, yang sebagian besar justru santri-santri muda berwajah baru yang sudah lelah dan pengap dengan indoktrinasi, konservatisme dan dogmatisme dalam studi Islam, dengan mencoba menjadikan Islib sebagai alat bantu analisis untuk menghadirkan Islam yang ramah, toleran, inklusif, liberal, membebaskan, dan karenanya menjadikan agama ini sebagai ya’luu wa laa yu’la alaihi. Insya Allah!

Hermeneutika Al-Qur’an
Gugatan Haidar sebenarnya bisa dijawab dengan metode hermeneutika al-Qur’an. Ini jika kita konsisten pada lanskap dan garis geneologi dari gerakan pembaharuan Islam. Dalam ”Islam: Past Influence and Present Challenge”, dalam Alford Welch & Cachia Pierre [ed.], Islam: Challenges and Opportunities, (Edinburg, 1979, pp. 315-30), Fazlur Rahman memetakan garis sejarah gerakan pembaharuan Islam dalam rentang waktu dua abad mutakhir ke dalam empat gerakan: [1] gerakan revivalis di akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19 dalam bentuk gerakan Wahhabiyah di Arab, Sanusiyah di Afrika Utara, dan Fulaniyah di Afrika Barat; [2] gerakan modernis yang dimotori Sayyid Ahmad Khan di India, Jamal al-Din al-Afghani di kawasan Timur Tengah, dan Muhammad Abduh di Mesir; [3] neo-revivalisme, relatif modern, meski agak reaksioner, dengan dipelopori Maududi dan Kelompok Jama’at Islam di Pakistan; dan [4] neo-modernisme, di mana Fazlur Rahman sendiri bagian intrinsik dari gerakan ini, dengan alasan neo-modernisme merupakan sintesis progresif dari rasionalitas modern dengan ijtihad dan tradisi klasik.

Sejauh pengamatan saya, Islib merupakan baju baru dari neo-modernisme Islam. Jika neo-modernisme Islam di Indonesia dulu dipelopori –meninjam tesis Greg Barton– oleh Nurcholish Madjid; Abdurrahman Wahid; Djohan Effendi dan Ahmad Wahib, dengan lebih bertumpu pada kekuatan pembaharuan secara personal-individual, maka gerakan pembaharuan Islam yang dimotori Islib ini lebih bersifat jama’ah [kolektif]. Baju baru bernama Jaringan Islam Liberal ini, saya kira, lebih disebabkan karena faktor jiwa liberal-revolusioner anak-anak muda Islib yang lebih suka pada nomenklatur baru, bersamaan dengan kehadiran tesis Liberal Movement of Islamic Thought in Indonesia karya Greg Barton (1995); Liberal Islam; A Sourcebook editan Charles Kurzman (1998); dan karya Profesor Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies, (Chicago & London: The University of Chicago Press, 1988).

Proyek pembaharuan keagamaan Islib ini, saya yakin, masih bertumpu pada al-muhaafadzatu ‘ala al-qadiim al-shalih wa al-akhdzu ‘ala al-jadid al-ashlah (memelihara sesuatu [tradisi, ”sunnah”] yang baik di masa lampau, dan menerima sesuatu yang lebih baik di masa sekarang).

Nah, jika kita konsisten pada lanskap dan garis sejarah dari gerakan pembaharuan Islam di dunia itu, di mana Islib tak lebih dari baju baru dari neo-modernisme Islam, maka soal metodologi Islib yang dipertanyakan Haidar menjadi terjawab dengan metode hermeneutika al-Qur’an seperti dapat dilacak pada hermeneutika al-Qur’an model Fazlur Rahman, Nurcholish Madjid, Farid Esack, dan sejumlah aktivis Islam Liberal lainnya.

Sejumlah karya besar Rahman, seperti Islam (1979), Major Themes of the Qur’an (1980), Islam and Modernity (1982), Islamic Methodology in History (1965) dan lainnya lebih dari jelas untuk dijadikan model metodologi dalam mengkaji Islam, dengan bertumpu pada hermeneutika al-Qur’an sebagai kerangka metodologi.

Hermeneutika al-Qur’an model Rahman menunjukkan respon dialektis antara situasi sejarah dengan tanggapan al-Qur’an. Dalam jama’ah Islib, misalnya, dialektika situasi historis dengan respon al-Qur’an ini ditunjukkan pada gerak wahyu progresif, misalnya pada al-Tadarujj fi al-hukm. Berbeda dengan mereka yang menjadikan al-Qur’an sebagai senjata ampuh untuk ”menomorduakan” non-Muslim, Islib justru menjadikan al-Qur’an sebagai basis inter-faith solidarity [solidaritas antariman] dengan the others, yang berbeda iman, untuk hidup bersama-sama secara damai dalam keragaman iman yang justru memperkaya horison dan pengalaman spiritual.

Farid Esack malah lebih berani lagi dengan menggalang solidaritas antariman dengan kelompok lain, yang berbeda iman, untuk melawan kemapanan, baik religius maupun politik, status quo, kedzaliman, kediktatoran dan segala bentuk represi dan otoritarianisme. Hermeneutika al-Qur’an yang dipakai Esack, misalnya, justru dirujukkan pada teks al-Qur’an ”mustadl’afiin” (Q.S. al-Qashash/28:5) sebagai senjata ampuh untuk melawan rezim penindas apartheid di Afrika Selatan. Ini karena teks ”mustadl’afiin” benar-benar merepresentasikan semua penderitaan orang-orang yang tertindas di Afrika Selatan, apa pun latar belakangnya. Dalam bukunya, Qur’an, Liberation, and Pluralism: An Islamic Perspective of Interreligious Solidarity Against Oppression, (Oxford, 1997), Esack menafsirkan teks mustadl’afiin dalam konteks penindasan, dengan merujuk dua kalimat: Pertama, ”wahai mustadl’afiin negeri ini, sistem yang kita perangi ini, dan yang kita korbankan hidup, darah, dan milik kita ini adalah jahat dan busuk sampai ke akarnya”; Kedua, [Tugas kaum Muslim] adalah mempersatukan kekuatan progresif di kalangan mustadl’afiin… berperan serta demi kesatuan mustadl’afiin… meneriakkan dengan lantang pada para penindas: ”Jika kamu memerangi orang-orang yang tertindas atau menghalangi jalan orang-orang tertindas, kami diperintah Tuhan untuk membela diri menentang ketidakadilan dan penindasan.”

Dalam konteks Afrika Selatan, hermeneutika al-Qur’an diterjemahkan Esack ke dalam wahyu progresif yang memihak dan membebaskan terhadap yang lemah dan tertindas. Inilah kira-kira metode lingkaran hermeneutik model Juan Luis Segundo, yakni suatu perubahan yang berkesinambungan dalam menafsirkan teks dan al-Kitab, sebagai ”exercise of suspicion” (latihan kecurigaan) atas situasi ketidakadilan yang membelenggu kelompok tertindas. Di sinilah kemudian terjadinya praksis liberatif yang secara pasti bersifat politis. Nah, hermeneutika pembebasan mendasarkan diri pada fakta bahwa sebuah pilihan politis yang mengafirmasikan perubahan liberatif terhadap yang tertindas merupakan unsur iman secara intrinsik. Inilah model iman yang membebaskan kelompok tertindas, bukan iman yang justru membelenggu dan bahkan memperkeruh konflik antaragama.

Muncul pertanyaan; apakah jama’ah Islib selama ini sudah terlibat aktif dalam membebaskan yang lemah dan tertindas? Tentu saja butuh pentahapan dalam gerakan. Dalam setahun terakhir ini, jama’ah Islib sedang berkonsentrasi penuh pada penafsiran kembali doktrin Islam ke arah wajah Islam yang ramah, toleran, sejuk, dan sekaligus membebaskan umat melalui masifikasi gagasannya, baik di media massa maupun elektronik. Ini pun ternyata sejalan dan bertemu secara koinsiden dengan penghadiran Islam yang ramah dan sejuk yang dikampanyekan Syafi’i Ma’arif [Muhammadiyah] dan Hasyim Muzadi [NU].

Terus terang, ini bukan karena kepentingan AS memerangi terorisme, agen Barat, dan sejumlah tuduhan lainnya, tapi karena semata-mata murni ijtihad keagamaan jama’ah Islib terhadap al-Qur’an dan al-Hadits, yang juga dapat dibaca sebagai mata rantai panjang dari sejarah gerakan pembaharuan Islam di berbagai belahan dunia. Pada ranah strategi gerakan Islam, hal itu juga sebagai bentuk shock-therapy terhadap dogmatisasi dan eksklusifikasi Islam yang selama ini membelenggu pikiran umat [Islam] di Indonesia, khususnya.

Karena itulah, jauh lebih produktif dan progresif meletakkan gerakan pembaharuan keagamaan Islib ini sebagai bagian intrinsik dari ijtihad keagamaan aktivis muda Islam yang berniat membebaskan umat dari belenggu doktrin dan tradisi menuju pencerahan baru dalam beragama, ketimbang meletakkan Islib sebagai penggagahan dan konspirasi terhadap Islam. Saya haqqul yakin, jama’ah Islib jauh dari niat ”penggagahan dan konspirasi terhadap Islam”. Mereka, insya Allah, masih mengucapkan syahadatain, menjalankan shalat, menunaikan zakat, berpuasa, dan bahkan ada juga yang sudah pergi haji. Akhirnya, kepada Allah jualah kita kembalikan semua ijtihad kita (wa ilallaahi turja’ al-umur). Wallahu a’lam bi al-shawab.

___________________

ARTIKEL TERKAIT

  1. Haidar Bagir: Islib Butuh Metodologi
  2. Untuk Haidar Bagir: Metodologi Islam Liberal
  3. Hermeneutika dan Ta’wil (Tanggapan Haidar Bagir Untuk Sukidi)
  4. Andai aku seorang Muslim liberal
  5. Islam Tidak Anarkis dan Tidak Pluralis

 

Satu Tanggapan

  1. […] pengembangan pemikiran Islam. Sebagai contoh paling akhir mengenai hal ini, Sukidi pernah menulis Metodologi Islam Liberal (Republika, 6/4/02). Tapi sayang sekali, seringkali tidak jelas apa yang dimaksud dengan […]

Tinggalkan komentar