Mengucapkan Selamat Natal, Menurut Prof. Quraish Shihab

Mengucapkan Selamat Natal, Menurut Prof. Quraish Shihab

SUMBER: http://kaderulamakemenag.blogspot.com.

Dikutip dari buku 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, Quraish Shihab

Ust. Dr. Quraish Shihab

Ust. Dr. Quraish Shihab

Soal:

Bolehkan kita mengucapkan salam dan atau “Selamat Natal” kepada pemeluk Nasrani?
Jawab:
Ada hadits—antara lain diriwayatkan oleh Imam Mulis—yang melarang seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”
Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku Subul as-Salam karya Muhammad bin Ismail al-Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermadzhab Syafi’i tidak memahami larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka memperbolehkan menyapa non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat Nabi, Ibnu Abbas. Al-Qadhi Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga oleh Alqamah dan al-Auza’i. 
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena agaknya larangan tersebut timbul dari sikap permusuhan orang-orang Yahudi dan Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi saw bahwa orang Yahudi bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalamu’alaikum,” tetapi “Assamu’alaikum” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk Anda.”
Mengucapkan “selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarna, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat, dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.
Yang melarang ucapan “Selamat Natal”  mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Quran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”, misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti kat Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu pertama hingga surah al-Ikhlas.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan beliau tidak sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud Tuhan”.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci itu, memang ada di dalam Al-Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan ajaran Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah. Ini dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah larangan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau membantu terlaksanannya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Quran mengaitkannya dengan ucapan Isa, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk Isa as, sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkan kita merayakan hari lahir (natal) Isa as? Bukankah Nabi saw juga merayakan hari keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan (umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud), melalui Ibnu Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981).
Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim mengucapkan selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal” yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Quran dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula. Di sini, kalaupun non-Muslim memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkan sesuai dengan penggarisan keyakinannya.
Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat Natal”, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya arif bijaksana dan tetap memelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian dikutip al-Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaska QS. Al-An’am [6]: 121, dari kitab ar-Raudhah.
Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Demikian, wallahu a’lam.
*Dikutip dari buku 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui, Quraish Shihab.

16 Tanggapan

  1. Bismillah. Assalamualaikum ya akhi &uhti … Alhamdulillahirobilalamin. Trimakasih ulasan khazanah di atas. saya sependapat dengan ulasan tersebut ,semoga dapat menjadi jawaban atas keraguan. Bagi kita semua kaum Muslim ..
    Ulasan yang sesuai dgn dasar kaidah islam dan bersumber dri alqur-an dan hadis yag menjadi pedoman landasan agama islam .. … Namun dalam ahir 2 kalimat saya menemukan rangkaian kata yang mungkin saya kurang jelas .. Yakni penyembelihan binatang yang. Di sembelih atas nama al masih .. Yang menjadi pertanyaan Halalkah ??? …. Dimana barang kali. Kurangnya wawasan kami atas Hal tersebut mohon. PenjelasNnya . Trimakasih tas ulasan bijak saudara. Salam. Keberkahan bagi saudara seiman .. Assalamualikum wr WB ….

  2. we’ll see…

  3. Postingan yang bagus dan menambah wawasan

  4. akidah diambil dengan pikiran/hawa nafsu….. buya hamka masuk bui karena menegakkan akidah… haram kata buya hamka mengucapkan selamat hari natal….. begitu juga dengan 99% para ulama di Indonesia… didalam islam tidak ada abu – abu, hitam katakan hitam….putih katakan putih….

    • saya setuju dgn anda. dalam islam sudah jelas, hitam dikatakan hitam putih ya putih.

      • Islam harusnya sangat toleran,,, bukankah Allah melarang Muhammad SAW ut tidak keras dalam urusan agama…..

    • terus gak protes ama prof quraish shihab ?…protes dong hehehe

    • waduh 99% ulama Indonesia? data dari mana bang? asal cuap ya? MUI saja spngtahuan sy blum kluarkan fatwanya.. awas jadi fitnah loh kalo nda bisa di pertanggungjawabkan.

    • إنهما يوما عيد للمشركين فأنا أحب أن أخالفهم

      “Dua hari ini adalah hari rayanya orang-orang musyrikin. Saya senang menyelisihi mereka” (HR. Ahmad dan Nasa’i).

      Ada dua faidah yang bisa kita petik dari hadis ini

      Pertama: Nabi shallallahu’alaihiwasallam menyukai perbuatan yang menyelisihi orang-orang yahudi dan nasrani, terlebih pada hal-hal yang berkaitan dengan syiar mereka dan hari raya adalah syiar terbesar yang ada dalam agama mereka. Bila ada seorang muslim yang sampai ikut serta dalam syiar terbesar mereka, itu menunjukkan bahwa ia telah menyelisi perinsip-prinsip kenabian.

      Bila ada yang berdalih dengan toleransi, maka kita katakan, “Toleransi itu ada batasannya. Bukan menyangkut hal-hal prinsip seperti ini. Bila menyangkut hal yang prinsip, maka sikap seorang muslim adalah lakum diinukum waliya diin; bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” Bagaimana tidak dikatakan prinsip sementara dalam perayaan natal tersebut orang-orang nasrani sedang merayakan hari kelahiran anak tuhan (menurut presepsi mereka). Pada saat itulah mereka menyembah tuhan-tuhan mereka secara besar-besaran. Berangkat dari sini, tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk memberi ucapan selamat atas hari raya mereka.

      Kedua: Dalam sabdanya, Nabi menyebut orang-orang yahudi dan nasrani sebagai “musyrikin”. Ini dalil bahwa boleh bagi kita untuk menyebut mereka sebagai musyrikin. Sebagaimana juga diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 72 dan surat At-Taubah ayat 31.

      Dalil Keenam: Atsar dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi,

      لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

      “Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja kaum musyrikin di saat hari raya mereka karena kemurkaan Allah sedang turun atas mereka” (Sunan Al-Baihaqi 9/234).

      Amat disayangkan bila kemudian ada sebagian aktivis dakwah yang membolehkan ucapan selamat natal. Seakan lebih paham tentang toleransi daripada sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu yang mendapat julukan al-faruq (pembeda antara yang kebenaran dan kebatilan) dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam.

      Dalil Ketujuh: Masih seputar atsar dari Umar radhiyallahu’anhu. Pada kesempatan yang lain beliau berkata,

      اجتنبوا أعداء الله في عيدهم

      “Jangan dekati orang-orang kafir pada hari raya-hari raya mereka” (Sunan Al-Baihaqi 9/234), dan Kanzul ‘amal 1/405).

      Bila sekedar menemui mereka saat mereka sedang merayakan hari raya saja terlarang, apalagi sampai memberi ucapan selamat keapada mereka. Tak diragukan lagi dalam ucapan selamat tersebut mengandung unsur persetujuan atas penyembahan mereka kepada patung-patung atau dewa-dewa mereka.

      Dari tulisan ini, pembaca sekalian bisa menyimpulkan, apakah boleh mengucapkan selamat natal ataukah tidak, bahkan dengan logika paling sederhana sekalipun. Demikian yang bisa penulis sampaikan, Semoga Allah membimbing kita semua untuk meniti jalan yang diridhai-Nya. Washallallah ‘ala nabiyyina muhammad wa’ala aalihi wa shahbihi wasallam.
      ____

  5. Masalahnya Natal adalah perayaan agama kristen…gak ada kaitannya ama Islam sedikitpun kan..? Apakah dalam konteks kondisi ataupun pelaku, adakah dalam Islam istilah NATAL..? Milik siapakah NATAL itu..?apakah dalam NATAL itu benar2 merayakan kelahiran nabi Isa AS atau Yesus sebagai Tuhan…?

  6. “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).

    Natal sekrng di peruntukan untuk kelahiran yesus kristus ISA AL MASIH…. nasrani merayakan hari lahir YESUS..bukan nabi Isa..mereka pun tak akan suka bila Tuhannya di katakan bukan Tuhan, melainkan hanya Nabi Allah..hamba Allah..
    begitupun kita para Muslim..kita tak akan pernah mengiyakan Yesus adalah Anak Allah,atau nabi Isa Adalah Anak Allah..

    Mungkin kalau memang Nabi Isa dilahirkan pada tgl 25 desember sama dengan Yesus .. saya hanya akan merayakan/mensyukuri keselamatannya dengan kaum muslimin yang juga yang membenarkan isi dari QS Maryam [19]:30 .. bahwa Nabi Allah Isa adalah hamba Allah.. dengan cara merayakan dan mensyukuri keselamatan yang nabi Muhammad ajarkan juga..

    BUKAN menghormati dengan mengucapkan natal kepada kaum nasrani terlebih ikut terlibat dalam perayaan kepada kaum yang mengakui Isa adalah Al Masih ,anak Allah yg sudah menyimpang dari ajaran Islam..agama Allah..

    Semoga Allah SWT melimpahkan perlindungannya kepada kita semua.

  7. sayang sekali dasar yang di gunakan adalah untuk memeperingati hari lahir nabi isa. dan diketahui kalau natal itu tidak di kelahiran nabi isa. silahkan di cek asal usul natal dan di alkitab sendiri bagaimana sejarah kelahiran almasih. berarti kalau kita mengucapkannya berarti kita percaya dengan manusia yang mebuat-buatnya. bukan dnegan fakta asli berdasarkan sejarah.
    mengapa quraisy shihab tidak membahas sejarah nya? apa karena beliau liberal?

  8. kalau masalah yang di atas benar sekali, pemikiran pak Quraish Shihab pemikiran yang cemerlang tp sy hanya melihat yang terpenting aja ya, itu bentuk pelarangan takut kaum muslimin berubah ke Imanannya, jd kaum muslimin harus kuat jgn masalah pengucapan Selamat Natal anda jd Mualaf ke Agama lain jd ke imanannya main main. disini jadi jelas terlihat kaum Muslimin perlu serius membaca al’quran dan rajin membacanya bukan hanya sholat aja yang rajin, terlabih lebih bisa memahami isi al’quran biar ustad berdakwah kita cocokin dgn al’quran sama gak dakwahnya dgn ayat ayat yang di ceritakan saat berdakwah.

  9. Nabi Isa bukanlah yesus. Yesus tidak sama dengan nabi Isa. Natal memperingati kelahiran yesus bukan nabi Isa. Bahkan umat nasranipun ragu tentang soal kelahiran yesus mereka. Mengucapkan selamat natal jelas salah, karena ucapan itu untuk yesus bukan nabi Isa. Jadi posting anda ini sangat menyesatkan dan jelas merupakan betuk pengaburan akidah Islam. Cukuplah kita membiarkan dan tdk mengganggu mereka menjalankan cara mereka. Tidak perlu ikut dan mengucapkan selamat kepada mereka. Semoga Allah memberi anda petunjuk jalan yang lurus. Jika anda tetap menyesatkan umat, tunggulah ketetapan Allah untuk anda.

  10. Anda bisa memilih, kan kita diberikan akal, mampu membedakan mana haq dan mana bathil, bagaimana yang haram bisa jadi halal..
    1. Sebelum Nikah haram bergaul dengan wanita lain yang bukan muhrim, setelah menikah atas nama Allah maka menjadi halal,
    2, Diharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi dan peyembelihan tidak atas nama Allah, akan tetapi jika hatimu tidak menghendaki demikian maka terjadi juga atasmu, maka tidak berdosa bagimu, sesungguhnya Allah maha pengampun lagi Maha penyayang,’ Keharaman sesuatu sudah jelas haramnya melakukannya, yang perlu digaris bawahi, Jika hatimu tidak menghendaki maka terjadi juga bagimu, maka lakukanlah, tidak ada dosa bagimu.(AlBaqoroh.
    Masalah ucapan Natal, saya, anda dan siapapun orang Islam sebenarnya dalam hatinya tidak ingin menghendaki mengucapkan natal, karena itu adalah urusan agama lain, mau ngapain kita ikut-ikutan itu logikanya, akan tetapi di Indonesia selain Islam ada penganut lain termasuk nasrani, sebenarnya menurut kita mengapa tidak ikut Islam saja, kalau bisa kita tidak menghendaki adanya agama lain cukup Islam saja, akan tetapi tidak begitu menurut Allah pasti ada lawannya beragama lain selain Islam, yang haram dimasuki, itu adalah sunnatullah, Nah intinya hati kita tidak menghendaki, akan tetapi terjadi juga, nah kita terima saja dahulu tidak berdosa bagi kita hanya menerima saja agama lain di Indonesia, bagi Islam kan hukumnya haram mengikuti agama lain. ( alBAQOROH.173)Islam artinya selamat dan damai. Sekarang bagaimana Demi keutuhan NKRI dan manusia di Indobesia, berarti wajib saling menghargai sesamanya, adapun keyaqinannya terserah masing-masing, yang penting hidup dalam damai itu yang Allah mauin kepada kita, adapun keyaqinannya tanggung jawab masing-masing kepada Allah semata(Islam) atau kepada Tuhannya masing-masing (non Muslim), adapun kita mengucap Natal adalah menurut Islam artinya kelahiran Nabi Isa sebagai hamba Allah yang terpilih menjadi Rasul (menurut Islam)bukan menurut mereka, Allah Maha Tahu apa yang ada dihati kita yang kita ucapkan, nggak mungkin hati kita sama pengakuannya, apakah berdosa, kembali kepada ayat 173 AlBaqoroh, tidak berdosa bagimu, karena sebenarnya hati kita tidak menghendakinya, sebenarnya oleh Islam aslinya diharamkan, mengapa jadi tidak berdosa? sebab pengakuan kita tidak sama yang ada dihati, niatnya hanyalah menghargai Isa sebagai Rasul Allah bukan sebagaiTuhan, sedagkan ritualnya saja sudah berbeda tak perlu di kuti oleh kita mau ngapain mengikuti ibadah orang lain (AlKafirun.2) tidak berdosa bagimu jika engkau tidak mengikuti, dan akan keluar dari Islam jika kita mengikuti ritualnya, wajib bertaubat.
    Sekarang tergantung niat anda, ucapan natal sekedar menghargai Isa sebagai seorang rasul, atau tidak perlu mengucap, sebab dua-duanya tidak berdosa bagimu diucap atau tidak atas Iman kepada Allah dalam Diinu al islam
    yang haram adalah Niat ucapan natal mengakui Isa sebagai anak Tuhannya Nasrani dan mengikuti ritualnya, terlalu jahiliyah tidak memahami Islam Diinullah itu apa. sudah tahu bangkai, darah dan babi itu haram masih juga dimakan dengan sengaja, salah siapa ? orang kok wong dewek

  11. Wahai quraish shihab janganlah engkau sesatkan kami dengan ilmu tafsir anda seharusnya anda berpatoan dengan al qur’an bukan dengam ilmu tafsir anda

    إنهما يوما عيد للمشركين فأنا أحب أن أخالفهم

    “Dua hari ini adalah hari rayanya orang-orang musyrikin. Saya senang menyelisihi mereka” (HR. Ahmad dan Nasa’i).

    Ada dua faidah yang bisa kita petik dari hadis ini

    Pertama: Nabi shallallahu’alaihiwasallam menyukai perbuatan yang menyelisihi orang-orang yahudi dan nasrani, terlebih pada hal-hal yang berkaitan dengan syiar mereka dan hari raya adalah syiar terbesar yang ada dalam agama mereka. Bila ada seorang muslim yang sampai ikut serta dalam syiar terbesar mereka, itu menunjukkan bahwa ia telah menyelisi perinsip-prinsip kenabian.

    Bila ada yang berdalih dengan toleransi, maka kita katakan, “Toleransi itu ada batasannya. Bukan menyangkut hal-hal prinsip seperti ini. Bila menyangkut hal yang prinsip, maka sikap seorang muslim adalah lakum diinukum waliya diin; bagi kalian agama kalian dan bagiku agamaku.” Bagaimana tidak dikatakan prinsip sementara dalam perayaan natal tersebut orang-orang nasrani sedang merayakan hari kelahiran anak tuhan (menurut presepsi mereka). Pada saat itulah mereka menyembah tuhan-tuhan mereka secara besar-besaran. Berangkat dari sini, tidak dibenarkan bagi seorang muslim untuk memberi ucapan selamat atas hari raya mereka.

    Kedua: Dalam sabdanya, Nabi menyebut orang-orang yahudi dan nasrani sebagai “musyrikin”. Ini dalil bahwa boleh bagi kita untuk menyebut mereka sebagai musyrikin. Sebagaimana juga diterangkan dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 72 dan surat At-Taubah ayat 31.

    Dalil Keenam: Atsar dari Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi,

    لا تدخلوا على المشركين في كنائسهم يوم عيدهم فإن السخطة تنزل عليهم

    “Janganlah kalian masuk ke gereja-gereja kaum musyrikin di saat hari raya mereka karena kemurkaan Allah sedang turun atas mereka” (Sunan Al-Baihaqi 9/234).

    Amat disayangkan bila kemudian ada sebagian aktivis dakwah yang membolehkan ucapan selamat natal. Seakan lebih paham tentang toleransi daripada sahabat Umar bin Khatab radhiyallahu’anhu yang mendapat julukan al-faruq (pembeda antara yang kebenaran dan kebatilan) dari Nabi shallallahu’alaihiwasallam.

    Dalil Ketujuh: Masih seputar atsar dari Umar radhiyallahu’anhu. Pada kesempatan yang lain beliau berkata,

    اجتنبوا أعداء الله في عيدهم

    “Jangan dekati orang-orang kafir pada hari raya-hari raya mereka” (Sunan Al-Baihaqi 9/234), dan Kanzul ‘amal 1/405).

    Bila sekedar menemui mereka saat mereka sedang merayakan hari raya saja terlarang, apalagi sampai memberi ucapan selamat keapada mereka. Tak diragukan lagi dalam ucapan selamat tersebut mengandung unsur persetujuan atas penyembahan mereka kepada patung-patung atau dewa-dewa mereka.

    Dari tulisan ini, pembaca sekalian bisa menyimpulkan, apakah boleh mengucapkan selamat natal ataukah tidak, bahkan dengan logika paling sederhana sekalipun. Demikian yang bisa penulis sampaikan, Semoga Allah membimbing kita semua untuk meniti jalan yang diridhai-Nya. Washallallah ‘ala nabiyyina muhammad wa’ala aalihi wa shahbihi wasallam.
    ____

Tinggalkan komentar