Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

Muhammadiyah Terbelenggu Wujudul Hilal: Metode Lama yang Mematikan Tajdid Hisab

SUMBER: Dakwatuna.Com

Prof. Dr. Thomas Djamaluddin

dakwatuna.com – Perbedaan Idul Fitri dan Idul Adha sering terjadi di Indonesia. Penyebab utama BUKAN perbedaan metode hisab (perhitungan) dan rukyat (pengamatan), tetapi pada perbedaan kriterianya. Kalau mau lebih spesifik merujuk akar masalah, sumber masalah utama adalah Muhammadiyah yang masih kukuh menggunakan hisab wujudul hilal.

Bila posisi bulan sudah positif di atas ufuk, tetapi ketinggiannya masih sekitar batas kriteria visibilitas hilal (imkan rukyat, batas kemungkinan untuk diamati) atau lebih rendah lagi, dapat dipastikan terjadi perbedaan.

Perbedaan terakhir kita alami pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Idul Fitri 1432/2011 juga hampir dipastikan terjadi perbedaan. Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda. Masyarakat dibuat bingung, tetapi hanya disodori solusi sementara, “mari kita saling menghormati”. Adakah solusi permanennya? Ada, Muhammadiyah bersama ormas-ormas Islam harus bersepakat untuk mengubah kriterianya. .

Mengapa perbedaan itu pasti terjadi ketika bulan pada posisi yang sangat rendah, tetapi sudah positif di atas ufuk? Kita ambil kasus penentuan Idul Fitri 1432/2011. Pada saat Maghrib 29 Ramadhan 1432/29 Agustus 2011 tinggi bulan di seluruh Indonesia hanya sekitar 2 derajat atau kurang, tetapi sudah positif. Perlu diketahui, kemampuan hisab sudah dimiliki semua ormas Islam secara merata, termasuk NU dan Persis, sehingga data hisab seperti itu sudah diketahui umum.

Dengan perangkat astronomi yang mudah didapat, siapa pun kini bisa menghisabnya. Dengan posisi bulan seperti itu, Muhammadiyah sejak awal sudah mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 30 Agustus 2011 karena bulan (“hilal”) sudah wujud di atas ufuk saat Maghrib 29 Agustus 2011.

Tetapi Ormas lain yang mengamalkan hisab juga, yaitu Persis (Persatuan Islam), mengumumkan Idul Fitri jatuh pada 31 Agustus 2011 karena mendasarkan pada kriteria imkan rukyat (kemungkinan untuk rukyat) yang pada saat Maghrib 29 Agustus 2011 bulan masih terlalu rendah untuk bisa memunculkan hilal yang teramati.

NU yang mendasarkan pada rukyat masih menunggu hasil rukyat. Tetapi, dalam beberapa kejadian sebelumnya seperti 1427/2006 dan 1428/2007, laporan kesaksian hilal pada saat bulan sangat rendah sering kali ditolak karena tidak mungkin ada rukyat dan seringkali pengamat ternyata keliru menunjukkan arah hilal.

Jadi, selama Muhammadiyah masih bersikukuh dengan kriteria wujudul hilalnya, kita selalu dihantui adanya perbedaan hari raya dan awal Ramadhan.  Seperti apa sesungguhnya hisab wujudul hilal itu? Banyak kalangan di intern Muhammadiyah mengagungkannya, seolah itu sebagai simbol keunggulan hisab mereka yang mereka yakini, terutama ketika dibandingkan dengan metode rukyat.  Tentu saja mereka anggota fanatik Muhammadiyah, tetapi sesungguhnya tidak paham ilmu hisab.

Oktober 2003 saya diundang Muhammadiyah sebagai narasumber pada Munas Tarjih ke-26 di Padang. Saya diminta memaparkan “Kritik terhadap Teori Wujudul Hilal dan Mathla’ Wilayatul Hukmi”. Saya katakan  wujudul hilal hanya ada dalam teori, tidak mungkin bisa teramati. Pada kesempatan lain saya sering mengatakan teori/kriteria wujudul hilal tidak punya landasan kuat dari segi syar’i dan astronomisnya. Dari segi syar’i, tafsir yang merujuk pada QS Yasin 39-40 terkesan dipaksakan. Dari segi astronomi, kriteria wujudul hilal adalah kriteria usang yang sudah lama ditinggalkan di kalangan ahli falak.

Kita ketahui, metode penentuan kalender yang paling kuno adalah hisab urfi (yang kini digunakan oleh beberapa kelompok kecil di Sumatera Barat dan Jawa Timur, yang hasilnya beda dengan metode hisab atau rukyat). Lalu berkembang hisab imkan rukyat, tetapi masih menggunakan hisab taqribi (pendekatan) yang akurasinya maish rendah. Muhammadiyah pun sempat menggunakannya pada awal sejarahnya. Kemudian untuk menghindari kerumitan imkan rukyat, digunakan hisab ijtimak qablal ghurub (konjungsi sebelum matahari terbenam) dan hisab wujudul hilal (hilal wujud di atas ufuk yang ditandai bulan terbenam lebih lambat daripada matahari).

Kini kriteria wujudul hilal mulai ditinggalkan, kecuali oleh beberapa kelompok atau negara yang masih kekurangan ahli hisabnya, seperti oleh Arab Saudi untuk kalender Ummul Quro-nya. Kini para pembuat kalender cenderung menggunakan kriteria imkan rukyat karena bisa dibandingkan dengan hasil rukyat. Perhitungan imkan rukyat sudah sangat mudah dilakukan, terbantu dengan perkembangan perangkat lunak astronomi. Informasi imkanrur rukyat atau visibilitas hilal juga sangat mudah diakses secara online di internet.

Muhammadiyah yang tampaknya terlalu ketat menjauhi rukyat terjebak pada kejumudan (kebekuan pemikiran) dalam ilmu falak atau astronomi terkait penentuan sistem kalendernya. Mereka cukup puas dengan wujudul hilal, kriteria lama yang secara astronomi dapat dianggap usang. Mereka mematikan tajdid (pembaharuan) yang sebenarnya menjadi nama lembaga think tank mereka, Majelis Tarjih dan Tajdid.

Sayang sekali. Sementara ormas Islam lain terus berubah. NU yang pada awalnya cenderung melarang rukyat dengan alat, termasuk kacamata, kini sudah melengkapi diri dengan perangkat lunak astronomi dan teleskop canggih. Mungkin jumlah ahli hisab di NU jauh lebih banyak daripada di Muhammadiyah, walau mereka pengamat rukyat. Sementara Persis (Persatuan Islam), ormas “kecil” yang sangat aktif dengan Dewan Hisab Rukyat-nya berani beberapa kali mengubah kriteria hisabnya. Padahal, Persis  kadang mengidentikkan sebagai “saudara kembar” Muhammadiyah karena memang mengandalkan hisab, tanpa menunggu hasil rukyat. Persis beberapa kali mengubah kriterianya, dari ijtimak qablal ghrub, imkan rukyat 2 derajat, wujudul hilal di seluruh wilayah Indonesia, sampai imkan rukyat astronomis yang diterapkan. Lalu mau ke mana Muhammadiyah? Kita berharap Muhammadiyah, sebagai ormas besar yang modern, mau berubah demi penyatuan Ummat. Semoga!

 

 

 

14 Tanggapan

  1. Saya tidak suka berpolemik model begini. Ikuti arab saudi beres. Masak tanggal 1 ada 2 kali. Bukan untuk mengalah demi persatuan umat, tetapi pakai aja kalender dunia. Rukyat internasional.

    • jgn2 anda org yg suka taklid buta ya,, gg mau ribet,, emang anda tinggal dmn?? emang anda lbh pintar dari para ahli astronomi, letak geografis negara kita beda saudaraku dgn arab saudi

  2. saya suka kajian ini, betul sekali jika demikian, saya senang dgn ormas muhammadiyah, yg saya tidak senang ya tadi yg disebutkan di atas,, astronomi sudah canggih dan itu bagian dari ilmu yang jua Alloh titipkan, mengapa kita tidak memakainya maksimal, ini demi syiar, bukan ormas atau individu,

  3. ikut saudy arabia yg bagaimana menurut sampeyan mas suyono?..
    saudy arabia yg dikuasai oleh keluarga Saud notabene adalah dedengkot Wahabiy apakah semuanya kudu diikuti?…
    kalo sampeyan gak setuju ya pindah saja ke sono (saudi arabia)
    perbedaan waktu indonesia dan sana selisih mas…
    jadi disana malam disini masih siang….begitu sebaliknya,,
    aneh2 ae kate melok saudi wahabiy….

  4. Setelah saya baca sedikit tentang rukyat dan hisab serta ketentuan tentang wujudul hilal maupun imkanur rukyat, dengan memperhatikan gerak semu matahari terhadap bumi, tampaknya sama-sama memiliki kekurangan untuk menyatukan awal bulan qomariah ( Hijriah), dan saya sangat tidak setuju denan pendapat Bp. Thomas Djamaludin dengan opininya, saya akan lebih suka kalau penyatuan kalender hijriah itu bersifatglobal dengan kiblat kita yaitu Makkah, karena bentangan selisih waktu Indonesia dengan Arab Saudi hanya 4 jam, logikanya tangggal yang sama harus jatuh pada hari yang sama.

  5. Bukankah benda2 langit berputar mengelilingi matahari dalam keteraturan, jd dihitung bisa pak prof. Sedang datangnya GERHANA saja bisa dihitung Tanggal, Bulan dan tahun bahkan sampai Jam menit dan detiknya.
    Anda malah nambah polemik. Emang jadwal sholat itu bukan dr hitungan. jgn berstandar ganda lah

  6. artikel anda begitu memojokan muhammadiyah,
    seolah-olah pemikiran muhammadiyah itu salah karena bertentangan dengan kebanyakan, jika disuatu mu’amalah dan itu ada sumber yang rojih, ya monggo” saja, dan sesungguhnya ketika terjadi perbedaan seperti ini pemerintahan islam lah yang berhak memutuskan, tetapi kita di indonesia, apakah boleh pemerintah yang sudah dengan jelas tidak berhukum islam memutuskannya???

  7. Kami kerjakan apa yang kami yakini ,Kerjakanlah apa yang kamu yakini .Wis ngono wae.Yang paling benar YA ALLAH.Gitu aja koq repot

    • wah mohammad was’an bener tuch, wong podo islam embok yo ojo ngono, amalanku duweku amalanmu duwekmu sing nilai yo gusti Allah, sing penting kito podo islame sing rukun.

  8. argumen Muhammadiyah :
    Pertama, semangat Al Qur’an adalah menggunakan hisab. Hal ini ada dalam ayat “Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan” (QS 55:5). Ayat ini bukan sekedar menginformasikan bahwa matahari dan bulan beredar dengan hukum yang pasti sehingga dapat dihitung atau diprediksi, tetapi juga dorongan untuk menghitungnya karena banyak kegunaannya. Dalam QS Yunus (10) ayat 5 disebutkan bahwa kegunaannya untuk mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.
    Kedua, jika spirit Qur’an adalah hisab mengapa Rasulullah Saw menggunakan rukyat? Menurut Rasyid Ridha dan Mustafa AzZarqa, perintah melakukan rukyat adalah perintah ber-ilat (beralasan). Ilat perintah rukyat adalah karena ummat zaman Nabi saw adalah ummat yang ummi,tidak kenal baca tulis dan tidak memungkinkan melakukan hisab. Ini ditegaskanoleh Rasulullah Saw dalam hadits riwayat Al Bukhari dan Muslim,“Sesungguhnya kami adalah umat yang ummi; kami tidak bisa menulis dan tidak bisa melakukan hisab. Bulan itu adalah demikian-demikian. Yakni kadang-kadang dua puluh sembilan hari dan kadang-kadang tiga puluh hari ”..
    Dalam kaidah fiqhiyah, hukum berlaku menurut ada atau tidak adanya ilat. Jika ada ilat, yaitu kondisi ummi sehingga tidak ada yang dapat melakukan hisab, maka berlaku perintah rukyat. Sedangkan jika ilat tidak ada (sudah ada ahlihisab), maka perintah rukyat tidak berlaku lagi. Yusuf Al Qaradawi menyebut bahwa rukyat bukan tujuan pada dirinya, melainkan hanyalah sarana. Muhammad Syakir, ahli hadits dari Mesir yang oleh Al Qaradawi disebut seorang salafimurni, menegaskan bahwa menggunakan hisab untuk menentukan bulan Qamariah adalah wajib dalam semua keadaan, kecuali di tempat di mana tidak ada orang mengetahui hisab.
    (ini adalah argumen yang saya dapatkan dari guru saya waktu ada kajian ramadlan)

  9. Ketiga, dengan rukyat umat Islam tidak bisa membuat kalender. Rukyat tidak dapat meramal tanggal jauh ke depan karena tanggal baru bisa diketahui pada H-1. Dr. Nidhal Guessoum menyebut suatu ironi besar bahwa umat Islam hingga kini tidak mempunyai sistem penanggalan terpadu yang jelas. Padahal 6000 tahun lampau di kalangan bangsa Sumeria telah terdapat suatu sistem kalender yang terstruktur dengan baik.
    Keempat, rukyat tidak dapat menyatukan awal bulan Islam secara global. Sebaliknya, rukyat memaksa umat Islam berbeda memulai awal bulan Qamariah, termasuk bulan-bulan ibadah. Hal ini karena rukyat pada visibilitas pertama tidak mengcover seluruh muka bumi. Pada hari yang sama ada muka bumi yang dapat merukyat tetapi ada muka bumi lain yang tidak dapat merukyat. Kawasan bumi di atas lintang utara 60 derajad dan di bawah lintang selatan 60 derajad adalah kawasan tidak normal, di mana tidak dapat melihat hilal untuk beberapa waktu lamanya atau terlambat dapat melihatnya, yaitu ketika bulan telah besar. Apalagi kawasan lingkaran artik dan lingkaran antartika yang siang pada musim panas melabihi 24jam dan malam pada musim dingin melebihi 24 jam.
    Kelima, jangkauan rukyat terbatas, dimana hanya bisa diberlakukan ke arah timur sejauh 10 jam. Orang di sebelah timur tidak mungkin menunggu rukyat di kawasan sebelah barat yang jaraknya lebih dari 10 jam. Akibatnya, rukyat fisik tidak dapat menyatukan awal bulan Qamariah di seluruh dunia karena keterbatasan jangkauannya. Memang, ulama zaman tengah menyatakan bahwa apabila terjadi rukyat di suatu tempat maka rukyat itu berlaku untuk seluruh muka bumi. Namun, jelas pandangan ini bertentangan dengan fakta astronomis, di zaman sekarang saat ilmu astronomi telah mengalami kemajuan pesat jelas pendapat semacam ini tidak dapat dipertahankan.
    Keenam, rukyat menimbulkan masalah pelaksanaan puasa Arafah. Bisa terjadi di Makkah belum terjadi rukyat sementara di kawasan sebelah barat sudah, atau di Makkah sudah rukyat tetapi di kawasan sebelah timur belum. Sehingga bisa terjadi kawasan lain berbeda satu hari dengan Makkah dalam memasuki awal bulan Qamariah. Masalahnya, hal ini dapat menyebabkan kawasan ujung barat bumi tidak dapat melaksanakan puasa Arafah karena wukuf di Arafah jatuh bersamaan dengan hari Idul Adha di ujung barat itu. Kalau kawasan barat itu menunda masuk bulan Zulhijah demi menunggu Makkah padahal hilal sudah terpampang di ufuk mereka, ini akan membuat sistem kalender menjadi kacau balau.

  10. sehingga dapat disimpulkan bahwa rukyat tidak dapat memberikan suatu penandaan waktu yang pasti dan komprehensif. Dan karena itu tidak dapat menata waktu pelaksanaan ibadah umat Islam secara selaras diseluruh dunia. Itulah mengapa dalam upaya melakukan pengorganisasian sistem waktu Islam di dunia internasional sekarang muncul seruan agar kita memegangi hisab dan tidak lagi menggunakan rukyat.

  11. saya kira kalo masalah ini jangan sampai kita saling menyalahkan satu sama yang lain. perbedaan sudah ada sejak zaman nabi.
    cuma kalau saya mengamati tentang perbedaan awal dan akhir bulan hijriyah yang ramai di perbicangkan apalagi ketika menghadapi bulan ramadhan atau syawal .
    ini semuanya adalah tentang waktu, cuma saya kadang heran kenapa kalau waktu shalat yang lima waktu mereka sepakat menggunakan hisab yang jauh sebelumnya sudah di ketahui waktunya. sedangkan bulan ramadhan knp tidak menggunakan hisab!!!!!!!!!!!
    memang ada hadis shumu liru’yatihi wa aftiru liru’yatihi……dulu masa rasulullah kaum muslimin masih sedikit jadi mungkin tapi masa sekarang kaum muslimin sudah mendunia maka seharusnya kita mengguinakan hisab.

    BERAPA RATUS JUTA UANG YANG DIHABISKAN PADA SIDANG ISBAT!!!!!!!!!!!!!!!!!!
    waallahu a’lam

  12. ha..ha.. Arab beda 4 jam dengan kita, bahkan terbit hilal lebih dahulu, karena hilal terbit dibarat, sedangkan Indonesia di Timur, dan sebenarnya jika saling menghargai (Taqwa) beres dan lancar, bertaqwalah pasti Hilal akan muncul 1 Ramadhan karena yang punya Hilal adalah Allah, dengan iizinnya dan kehendaknya, karena kesombongan manusia akan tehnologi dan Allahnya dilupakan maka sekejap saja tertutup awan mau dibilang apa, apapun hanya maunya Allah bukan maunya tehnologi, sebaiknya tehnologi disandarkan kepada Allah sangat pas mengapa pada lupa sama Allah dasar manusia hanya nafsunya saja digege-gedein, udah saling nyalahin mau nganggap benar sendiri sampai Allah ditinggalin, hayo kita do`ain dan kasih kabar gembira biar semua saling nyalahin biar masuk neraka……..karena disuruh akur sama Allah eh pada nggak mau……..

Tinggalkan Balasan ke jaman Batalkan balasan