Hakikat Ibadah

Hakikat Ibadah

SUMBER: Republika

Oleh Syafiq Basri
Senin, 22 September 2008 pukul 12:54:00

Dikisahkan, pada malam-malam yang sepi dan hening — sering dalam dinginnya kota Madinah yang menusuk tulang — Nabi Muhammad SAW berdiri berjam-jam, menengadahkan tangan, rukuk, khusuk, dan bersujud lama sekali di hadapan ”Kekasih”-nya, Allah SWT. Akibatnya, bukan cuma mata Beliau yang memerah, tapi kakinya pun bengkak. Aisyah, istri Beliau, menyoal, buat apa semua itu. ”Bukankah Anda seorang yang ma’shum, yang sudah diampuni dosanya?” tanya Aisyah.

Nabi menjawab singkat: Afalam akuunu abdan syakura…. Tidak bolehkah aku menjadi hamba yang bersyukur? Apa yang dilakukan Nabi SAW tersebut jelas merupakan contoh ibadah yang ideal. Ibadah yang didasarkan pada rasa cinta dan keikhlasan seorang hamba kepada penciptanya. Bukan amal karena ingin balasan surga, karena ibadah jenis itu adalah ibadahnya pedagang yang selalu berhitung ”untung-rugi”. Bukan pula karena takut  Neraka, karena ibadah model ini, menurut Imam Ali bin Abi Thalib adalah ibadahnya budak. Ibadah Nabi SAW adalah ibadah karena cinta. Ibadah yang benar-benar ikhlas. Ibadah seorang yang bebas merdeka, bukan budak yang takut dipecat majikannya.

Beramal demi sebuah ganjaran, sebetulnya adalah ibadah untuk diri kita sendiri. Untuk ego kita. Oleh sebab itu, jika kita mengharap pahala — dari amal ibadah yang kita lakukan — dengan sendirinya pahala itu untuk kepentingan kita. Padahal ibadah yang ikhlas itu untuk Allah semata, bukan untuk ego kita.

Begitu pula sebaliknya: menghindari yang haram karena takut neraka, tidaklah seikhlas yang menghindarinya karena mencari ridha Allah. Seorang anak yang ikhlas meladeni ayahnya, melakukan hal itu bukan karena takut dipukul sang ayah atau supaya diberi uang, melainkan karena cinta pada orangtua. Kita, barangkali akan merasa sulit mengikuti ibadah yang dilakukan oleh Nabi SAW. Meminjam istilah Al-Ghazali, kita masih tergolong manusia dalam tahap ‘awam’ sementara masih ada tahap khusus dan tahap khususnya khusus, khuwash-al-khawash. Seperti piramid, makin tinggi tahapan itu, makin sedikit jumlah manusianya.

Kendati begitu, kita barangkali masih tergolong ikhlas, kalau kita, misalnya, berderma untuk menghindari musibah. Karena itu juga perintah Allah. Tapi ini tergolong ikhlasnya awam, sebab kita baru mau bersedekah karena janji ganjaran yang berlipat ganda atau agar terhindar dari musibah dan marabahaya. Tentu saja orang mesti berusaha setahap demi setahap mencari tingkatan yang lebih tinggi, hingga tiba di tahap khawash-al-khawash. Kita harus selalu berusaha meningkatkan amal ibadah dari hari ke hari dan dari waktu ke waktu, hingga menjadi sempurna seperti yang dilakukan oleh panutan kita Nabi SAW. Bukankah berusaha meneladani Beliau sudah merupakan ibadah? (ah)

3 Tanggapan

  1. Allhamdulillah

  2. saya mohon bantuan pendapat nya apa yang saya harus lakukan untuk mengendalikan hawa napsu dalam diri sendiri dan hawa napsu yang datang dari luar ( wawas syetan ) contohnya ,saya ucapkan terima kasih apabila ada yang mau memberi masukan nasihat untuk saya.

  3. […] Artikel asli dapat dilihat di: Republika 22 September 2008; atau di blog ini. […]

Tinggalkan Balasan ke mulyadi Batalkan balasan